RENDEZVOUS TO JOGJA : A Tribute to Almh. Aflakha Ulul Azmi

Senin, 31 Mei 2010

Pagi ini aku mendapat telepon dari teman SMPku, Avis. Hari ini hari yang ceria. Aku baru saja memasak omelet mie untuk sarapanku dan adikku, lalu mencuci piring. Sehingga telepon Avis kuanggap tentang urusan stetoskop dan tensi yang ia titip padaku untuk membelikan.

Ternyata tidak.

“Mer, xxxx meninggal dunia,”

“Siapa?” Aku nggak nyambung. Aku pikir, tantenya yang sakit itu, dan telah terlambat bagiku untuk membelikan tensi bagi Avis. Penyesalan sedikit membersit.

“Ulul,”

“APA???”

“Iya Mer. Aflakha Ulul Azmi. Wafat kemarin malam (30 Mei 2010) ba’da isya. Aku juga gemetar ini,”

“Tapi kenapa? Sakit apa?” racauku.

“Nggal tau. Aku juga baru tahu dari Sari, teman SD-ku yang kita bareng se-SD sama mbak Ulul,”

Aku kehabisan kata. Aku tak sanggup menangis. Akupun sampai lupa mengucap innalillahi. Aku hampa.

“Halo? Halo?”

“I-iya… Vis. Terus bagaimana?”

“Hari ini kita semua alumnus SMP Muhammadiyah Batu kumpul ba’da maghrib untuk takziyah,”

*****************************************************

Sampai aku mandi, aku masih melamun. Pagi ini menjadi terasa sangat lambat bagiku. Segala semangat menguap. Tapi aku tidak menangis sama sekali. Aku jadi khawatir dengan keadaan hatiku. Terasa sangat berat, tetapi tidak ada air mata yang keluar. Tiba-tiba, HP-ku berbunyi. Nomor asing.

“Halo?”

“Apa benar ini nomor Merlita?”

“Iya, benar. Ada apa?” Aku menduga, pasti salah seorang teman lamaku yang akan mengabarkan berita duka.

“Mer, jangan kaget ya. Ulul meninggal dunia,”

“Iya, aku udah tau dari Avis. Ini siapa?” emosiku benar-benar flat. Entah siapa yang ada di seberang sana.

“Ini kakaknya,” aku membeku. Ia sendiri yang menelponku. Segala emosi yang berkecamuk di pikiranku akhirnya tumpah semua. Dan pecahlah tangisku dihadapan suara mbak Khoir, kakaknya.

“Ulul sakit apa, Mbak Khoir?” rintihku. Tetapi jawaban beliau tidak menjelaskan bagiku. aku semakin khawatir tentang sebab wafatnya. Apa? Mengapa? Dia gadis yang tegar. Menghadapi wafat ibunya di usia SMP, merawat ayahnya, menghadapi wafat ayahnya di semester 5-6, dan berjuang menyokong hidupnya sendiri. Yang menceritakan impian-impiannya, upayanya untuk menembus perusahaan GE, mencari beasiswa untuk tetap kuliah… gadis itu. Aku masih tidak mau percaya, yang baru saja bersamaku menghadiri pernikahan Ratna teman kelas kami dulu, yang pernah hidup bersama di perantauan Jogja di usia muda kami, kini meninggalkanku.

Berangkat kuliah ke Malang, aku semakin melayang. Dalam keadaan biasa saja momen bersepeda motor Batu-Malang untuk berangkat kuliah selalu menjadi momen kontemplasi dan melamun, apalagi dalam situasi terpukul seperti itu. Aku jadi tidak berani mengebut. Apabila aku memang terlambat terlalu parah ke kuliah Bedah Urologi dari dr. Basuki Purnomo, Sp.U, aku berencana membolos saja. Aku pun tidak terlalu siap untuk kuliah.

Teringat kembali berbagai memori kami di SMP.

*****************************************************

Aku dan Ulul selamanya (di SMP) adalah rival. Juara 1 paralel selalu kami duduki berdua. Tentu saja menjadi ribet. Ada barrier tak tampak antara kami, terutama di kelas 1. Maklum, baru kenal tau-tau udah saingan. Hmm…

Suatu hari, kami ditawari oleh pak Teguh Wijayanto, kepsek SMP Muhammadiyah waktu itu untuk menjalani program tukar pelajar ke SMP Muhammadiyah 3 Yogyakarta, SMP Muhammadiyah favorit di sana. Waktu itu awal kelas 2, dan kami masih tidak jauh beda dengan anak kelas 6 SD. Terutama aku, mungkin. Tetapi, kami menerima tawaran itu dengan senang dan hati berdebar. Bertemu dengan sekolah baru, teman baru, guru baru, model pelajaran baru. Dan hikmah dikirimnya kami berdua membuat kami dapat saling bergantung.

Di sana kami mengalami pengalaman yang berwarna-warni. Aku masih ingat ketika kami bertengkar hebat hanya gara-gara memperebutkan sebatang spidol. Lalu karena kesal, kami sama-sama menangis ^_^. Aku bahkan sempat membawa-bawa nama ibunya karena emosi. Hal yang sejak saat itu aku sesali. Beberapa hari setelah itu, kami tidak saling menyapa. Ngambek gituh… hehe. Tapi kemudian, kami mulai saling menyapa lagi setelah teman baru kami di sana, Suharli, memberi kami 2 buah komik Detective Conan yang kami sukai. Dimanapun Suharli berada, aku menyampaikan terima kasih yang teramat besar.

Hal-hal yang dulu rasanya terhalang, kini tak ada lagi. Di rantau kami bukanlah saingan, tetapi tim. Kami berbagi rahasia bersama. Mulai dari kesukaannya dengan bola. Meski seorang cewek, ia rela melek semalaman demi nonton bola, terutama tim favoritnya Inter Milan, dan player kesukaannya Sebastian Veron. Kegilaanku dengan komik Detektif Conan. Dan aku menyampaikan rahasia-rahasia terbesarku. Kamu ingat dengan kode ‘cincin’, Ulul? tentu aku masih ingat. Dan semua kenangan-kenangan asam-manis, yang jika dikenang kini hanya tinggal manis saja.

Sepulangnya dari Jogja, kami menjadi sangat akrab. Hal yang dulu terasa sulit, menjadi mudah. Tetapi tiba-tiba, aku mendapat kabar bahwa ibunya wafat. Aku turut merasakan kehilangan dan juga kesedihannya. Tetapi bagiku dia begitu tabah. Kini ia sendiri yang membantu dan mengurus ayahnya di rumah mereka. Kakaknya telah menikah sehingga tidak tinggal serumah lagi dengan keluarga kecil itu.

Suatu hari, lama setelah kami lulus dan berpisah SMA, aku bertemu dengannya kembali di suatu parkiran Plaza. Tidak ada hal yang begitu menyenangkan selain bertemu dengannya, dan memanggil kembali kenangan-kenangan kami di Jogja.

Saat itu ia berkata, “Aku senang denganmu Mer. Karena kamu tidak pernah melupakan pertemanan kita,” Tentu saja, Ulul, batinku. Aku memang selalu menghargai teman-teman lamaku. Tetapi kamu, adalah salah satu dari teman lama teristimewa.

Kami berpisah lagi dalam waktu lama. Dan tibalah kabar pernikahan Ratna teman sekelas kami dulu, putri pak Martono guru kami. aku menawari Ulul untuk bareng datang ke sana. Dan itulah pertemuanku yang terakhir dengannya. Entah kenapa belakangan ini aku kangen sekali padanya, tetapi tidak sempat mengirimi SMS. Apakah saat itu adalah firasat? Entah.. namun saat ini aku menyesali penundaanku itu.

*****************************************************

Malam itu, aku berkumpul kembali dengan sahabat-sahabat lamaku di SMP. Terkenang kembali semua lokasi yang pernah menjadi kenanganku tentang Ulul. Hari itu kuakui memang banyak melamun. Ah, Ulul. Apa yang akan kukatakan kepada orang-orang terdekatku mengenaimu? Kamu telah begitu dekat dengan keluargaku, dan berita kehilangan ini… .

Kamipun berangkat menuju rumah mbak Khoir. Disana kami disambut, dan aku tidak sanggup menahan air mataku. Aku bertanya mengenai sakit apa yang diderita oleh sahabatku itu. Rupanya, ia sakit paru-paru kronis. Entah Koch Disease atau apa, tetapi yang jelas dapat menurunkan kondisi tubuhnya dalam waktu singkat setelah sakit yang lama. Akupun menyesali terlambatnya Ulul dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap. Tetapi, segalanya telah ditentukan oleh takdir dan ditulis di Lauhul Mahfudz. Yang bisa kulakukan hanyalah mendoakannya. Semoga ia ditempatkan sisi Allah yang mulia, diterima amal-amal baiknya, dan diampuni segala dosanya. Memoir ini aku persembahkan untuknya, sebagai kenangan untuk sahabatku… Aflakha Ulul Azmi.

Tinggalkan komentar