Muhasabahku untuk Menjadi Ibu

21 Maret 2010

Percakapan di kamar :

“… Makanya, Mama pernah dengar kalau di…(suatu negeri bla-bla) tuh bisa masuk universitas hanya karena nilai matematikanya sangat baik, meski dia tidak lulus mata pelajaran yang lain. Jadi penting tuh… Mbak Aya? Mbak Aya?”

Aku terhenyak dari anganku. Rupanya tanpa kukehendaki, aku melamunkan urusan TA yang tersendat selama ibuku semangat bercerita. Karena khawatir molor ke semester 9 (yang berarti nambah biaya kuliah), di depan beliau yang sedang bicara aku melamunkan hal lain dan tidak memperhatikan.

“Kamu mendengarkan atau tidak? Percuma Mama capek-capek mikir dan ngomong kalau kamu nggak pedulikan.” Deg!

“Kamu keluar gih…” kata beliau dengan lembut, beberapa saat setelahnya (saat itu aku khawatir beliau sebenarnya mau menangis).

Kemudian, dengan suara sedikit serak ibuku menyanyikan sebait lagu –Aku bukan wonder womanmu, yang bisa terus menahan, rasa sakit karena mencintaimu- (di keluargaku, terutama bagi ibu dan adik lelakiku, lagu adalah ekspresi isi hati. Golak emosi tanpa sadar akan tersiratkan dari lirik lagu yang saat itu segera terbersit di hati mereka. Berbeda sekali dengan cara berekspresi aku dan ayahku yang main pendem-pendeman. Mungkin itu karena perbendaharaan kami tentang lagu-lagu terlalu sedikit ya?).

Aku segera sadar bahwa beliau telah tersinggung dengan sikapku yang nggak sopan itu. Aduh, menyesal sekali rasanya menyakiti beliau sedemikian rupa, meski tanpa sengaja. Sebenarnya, kebandelanku selama hidupku dengan beliau masih jauh lebih banyak yang lebih parah. Akan tetapi, kudokumentasikan ini karena tiba-tiba timbul muhasabah tersendiri bagiku. mendadak aku membayangkan apabila aku menjadi seorang ibu seperti dirinya.

—————————————————————————————————————————

Ketika seorang wanita mengasuh seorang anak, baik anak kandungnya atau bukan, maka saat itu ia harus dapat menerima banyak kemungkinan. Ketika ia dulu mengasuh seorang bayi, ia mengasuh bayi yang tak berdaya. Bayi mungil yang lucu untuk dicintai, dan terlalu lemah untuk melawan bila didzalimi. Yang bergantung padanya secara penuh. Yang haus akan cinta dan kasih sayangnya.

Kemudian anak itu akan semakin besar, dan semakin berkurang ketergantungannya. Semakin luas pergaulannya, semakin banyak kemauannya. Semakin mandiri dan semakin mudah membangkang. Ia tidak lagi menjadikan orangtua sebagai satu-satunya pertimbangan, seperti ketika kecil dulu. Dia juga mempertimbangkan teman-temannya, lingkungannya, harga dirinya, prinsip yang didapatkannya, dan informasi dari media yang diaksesnya.

Dan pada akhirnya ketika ia telah dewasa, maka ia benar-benar menjadi sangat mandiri dan sedikit sekali bergantung pada orangtuanya. Dia akan semakin banyak memutuskan hal-hal penting yang dipandangnya tidak perlu lagi meminta pertimbangan orang tuanya. Dia akan memilih jalannya sendiri, tanpa dapat lagi diintervensi. Paling-paling sang ibu-ayah hanya berhak untuk menasehati, tanpa terlalu jauh mengobok-obok privasi.

Dan dalam masa itu, si anak akan semakin sibuk dengan dunianya. Jika tadinya kewajibannya hanya sekolah, semakin dewasa bebannya akan semakin bertambah. Tidak hanya sekolah/kuliah, masih ditambah juga perannya sebagai teman, anggota masyarakat, anggota organisasi, amanat-amanat lain yang dipilihnya, dan nantinya, sebagai pasangan dan orangtua. Dalam simpang siur kesibukannya, si anak akan semakin jauh dan jauuuh dengan orang yang mencintainya tanpa harap balasan itu.

________________________________________________________________________

Jika ini bukan tulisan yang pertama tentang ibu, tidaklah masalah bagiku untuk menjadi yang kesekian kali. Yang terpenting, terutama untukku, tulisan ini dapat mengingatkanku kembali bahwa orang tua (terutama ibu) kita pun masih merindukan perhatian kehangatan kasih sayang dari kita, seiring beranjaknya kita ke usia dewasa. Di tengah-tengah kesibukan dan hiruk-pikuk tuntutan peranan dalam kehidupan kita. Dimana semakin dekat masanya bagi mereka untuk melepas kita dari dekap hangat mereka… dengan senyuman dan air mata.